Senin, 04 Mei 2009

Mari Membangun Gerakan Ilmiah

Sampai saat ini gerakan mahasiswa selalu diartikan hanyalah demonstrasi. Hal ini seolah menyimpulkan bahwa kalau mahasiswa tidak melakukan demo itu berarti tidak bergerak, kata lainnya mahasiswa tidak melakukan fungsinya. Ini tidak bisa difungkiri karena gambaran ini cukup kuat yang muncul ke permukaan, dimana demonstrasi selalu menyita banyak waktu, energi dan sebagainya. Demonstarsi selalu dalam bentuk kolektif, demonstrasi juga akan cepat tersebar ke pelosok tanah air. Ia menjadi konsumsi media. Tidak banyak yang mengafresiasi, pun tidak sempat mencuri perhatian mahasiswa yang giat munulis, giat berseni dan aksi sosial lainnya dan itu juga bagian dari pergerakan demi kepentingan bangsa, karena bangsa ini memang tidak terlatih untuk keluar dari kebiasaan yang telah berurat-akar itu.

Sesungguhnya dari sekian ratus ribu mahasiswa yang ada hanya sebagian saja yang giat berdemo, sementara yang lain berbuat dalam bentuk lain pula. Namun tulisan ini tidak untuk mambahas itu. Tulisan ini lebih kepada sedikit mengungkap kekuatan tulisan (gerakan ilmiah) yang dalam ukiran sejarah pergerakan mahasiswa dalam pembangunan cukup disegani dan telah menjadi buah bibir yang menasional. Juga untuk sedikit menggelitik kawan-kawan yang giat berdemo,namun tidak mengundang aksi simpatik, malah lebih kepada kesan brutal dan mengganggu kepentingan umum.

Tidak ada yang meragukan bahwa demonstrasi sangat penting bagi mahasiswa. Kekuatan demonstrasi telah terbukti mampu memberikan warna lain bagi pembangunan bangsa. Lebih dari itu demonstrasi terbukti mampu merubah arah kebijakan pemerintah yang tidak merakyat termasuk menurunkan penguasa di tengah jalan. Namun demonstrasi yang dilakukan belakangan lebih sering berakhir dengan kerusuhan. Kambing hitam pun kemudian dicari, propokator yang bukan mahasiswa menjadi tertuduh, mahasiswa cuci tangan, namun pada akhirnya harus berurusan juga dengan polisi.


Demonstrasi sekali lagi bukanlah barang haram, hanya saja ia terkadang dikesankan terlarang karena oknumnya tidak mampu mengontral diri. Nilailah rentetan demonstrasi mulai dari kumpul-kumpul di kampus, hingga long march yang mengganggu pengguna jalan. Buntutnya kemacetan panjang kendaraan akan terjadi dan juga akan membuang energi, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Bayangkan saja seperti dikatakan Pak Yusup Kalla, bahwa kalau ada seratus kendaran yang macet dan masing-masing kendaraan itu menghabiskan bensin satu liter, itu berarti sudah seratus liter bensin terbuang atau Rp600.000 terbuang percuma. Belum lagi waktu sekian jam tersita untuk antrian mendapatkan jalan kosong bagi kendaraan, jam kuliah terbuang, sampah sisa makanan yang pada akhirnya akan membuat tukang sapu kedodoran. Luar biasa ternyata kerugian yang harus ditanggung kalau kita hendak kritis terhadap hal ini.

Sementara bicara substansi demonstrasi, ini yang paling krusial, syuku-sukur kalau tuntutan dipenuhi, kalau tidak maka ini yang lebih membuat rugi lagi. Apa lagi demonstrasi belakangan ternyata lebih sering ditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi. Mahasiswa yang sebagai tumbal tidak menyadari bahwa aksi tersebut tidak murni lagi. Kesimpulannya paling tidak selalu ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari setiap demon yang dilakukan.

Menggunakan label “demi kepentingan rakyat” juga harus hati-hati. Pertanyaannya rakyat mana yang diperjuangkan. Kasihan juga rakyat kecil, yang predikat mereka selalu dibawa-bawa demi kepentingan yang tidak jelas.

Sepertinya sudah saatnya rekan-rekan mahasiswa untuk merubah arah pergerakan seperti ini. Pertama demonstrasi diusahakan seminimal mungkin tidak menggangu jadwal perkuliahan, kedua demonstrasi lebih baik tidak diawali dengan long march, ketiga demonstrasi jangan sampai berakhir dengan kerusuhan, aksi-aksi premanisme dan polisi masuk kampus.

Pentingnya lagi,bahwa pemerintah jangan dicap sebagai lawan. Kalau paradigma kawan-kawan selalu seperti ini, maka selama itu pula aksi mahasiswa tidak akan ditanggapi. Ciptakan jembatan, carilah waktu luang, buatlah forum diskusi dan jadilah mitra pemerintah untuk sama-sama memikirkan nasip bangsa. Jadilah mitra kerja pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Belajar dari sejarah Bung Hata.

Entah sejak kapan pergerakan lahir di bumi Indonesia ini, yang jelas masa-masa perjuangan gerakan perlawanan itu sudah ada. Untuk tokoh pergerakan yang lebih mengedepankan aksi simpatik dan itu dianggap sangat ilmiah sebagai kekuatan untuk membangun citra mahasiswa sesungguhnya ada baiknya berkiblat pada Muhamad Hatta. Putra minang asal Bukittinggi itu semasa menjadi mahasiswa lebih mengandalkan gerakan yang bersifat ilmiah.

Jurnal “ Daulat Rakyat” menjadi sarana ampuh bagi pendiri bangsa itu untuk membangun bangsa. Ia membangun bangsa, membuat perubahan bukan dengan aksi sosial turun ke jalan, namun berjuang lewat pikiran dalam bentuk karya tulis. Pemikiran kritis dan intelektualnya itu ditulisnya lewat jurnal yang dibuatnya sendiri. Ini terbukti tidak menggangu ketenteraman masyarakat. Tulisannya kemudian menjadi perbincangan di seluruh tanah air, hasilnya penguasa pun terusik.

Namun sayangnya pergerakan macam Bung Hatta ini tidak diteruskan oleh generasi masa kini. Jangankan untuk pergerakan yang menasional. Di Minangkabau saja hal itu ternyata tidak tampak. Mahasiswa minang lebih suka berkiblat ke tanah jawa. Kalau mahasiswa di jawa demo, tidak afdol pula rasanya kalau tidak dilakukan di ranah Minang ini. Paling tidak beginilah kita mengartikan pergerakan yang harus dibangun oleh generasi muda masa kini.




1 komentar: